Jumat, 12 Agustus 2011

Profesionalisme Seni

Menganalogikan seni ke dalam sebuah permainan berdasarkan peaham realisme dan naturalisme, telah menimbulkan semacam degradasi nilai yang fatal terhadap nilai seni itu sendiri. Kompleksitas seni yang sering diasumsikan sebagai bahasa yang universal pun tuirut kehilangan maknanya.

Kata permainan akan mengacu pada aktifitas ayng jauh dari kebutuhan primerdan sekunder manusia. Seperti contoh, sekelompok anak-anak pedesaan sedang asyik larut dalam permainan tapak lele dan kelereng, atau sekelompok anak perkotaan bermain dalam dunia layar kaca persegi yang sering mereka sebut play stasion atau online game.
Pertautan paham antara seni dan permainan seperti inilah yang sesungguhnya sedang terjadi dalam masayarakat kita, baik itu di pedesaan maupun di perkotaan. Hasilnya tidaklah heran bila sebagian orang tua melarang anaknya untuk berkecimpung dalam segala aktifitas yang berbau seni, alasannya adalah permainan seni sama dengan permainan tapak lele ataupun play stasion yang hanya membuang-buang waktu tanpa menghasilkan apapun.
Memang benar apa yang dikatakan Tjetjep Rohendi dalam bukunya “Kesenian Dalam Pendekatan Kebudayaan” yang mengatakan pemainan dalam seni sama persis seperti kita saat menikmati karya seni , menciptakan dunianya sendiri yang diseimbangkan oleh kaidah-kaidah yang berlaku dalam seni. Namun pemahaman seperti ini tidak pernah sampai kepada masyarakat umum hingga fungsi seni menjadi tidak jelas. Maka wajar saja bila seni hanya ditempatkan pada tingkat hobi, terlebih-lebih di lingkungan masyarakat perkotaan dalam konsep modernisasi, segala hal yang tidak memiliki nilai efisien, efektif, dan fungsional akan dilupakan dan diabaikan.
Selanjutnya beliau mencoba mengklarifikasikan permainan seni ini ke dalam sebuah permainan yang menjanjikan karakter tingkat tinggi, refleksi suatu sikap tanpa pamrih, mandir, dan menjaga jarak dari kepentingan-kepntingan material yang terlalu kasar.sikap-sikap inilah yang membedakan antara seni dan permainan. Sikap tanpa pamrih dan mandiri adalah kunci profesionalisme apapun itu bentuk bidangnya. Kenyataannya seni telah lebih dulu mengedepankan sikap-sikap ini melalui permainannya.
Sasaran yang dituju dari pencerminan sikap-sikap tersebut adalah pengembangan aspek spiritual dan emosional manusia. Spiritual emosional adalah cikal bakal terbentuknya proses humanisasi, dimana manusia bisa menjadi lebih manusiawi. Manusia akan lebih memahami eksistensinya dalam kehidupan ini, sebagai makhluk hidup dalam sistem kosmos yang digerakkan beberapa ionteraksi, antara manusia dan manusia, antara manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan.
Modernisasi yang mempengaruhi segala sendi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan. Seharusnya turut mengantarkan pemahaman profesionalisme dalam seni secara merata di seluruh lapisan masyarakat, tapi ini sangat sulit terjadi. Faktor yang paling mendasar adalah kembalinya masyarakat pada pemahaman modernisasi itu sendiri. Modernisasi yang tidak diimbangi oleh modernitas akan mempengaruhi pemikiran manusia pada kepentingan material semata, hingga prosesionalisme akan terpasung dalam konsep industrialisme, maka tidaklah heran saat ini seni telah terpenjara dalam sketsa industrialisme. Kesimpulannya adalah industri musik adalah \salah satu contoh kecil yang berpengaruh besar terhadap pemahaman profesionalisme seni.
Hal ini akan sangat disayangkan jika prosesionalisme seni menjadi senjata ampuh untuk mendekatkan diri pada material kasar, dalam arti lain untuk memperkaya diri tanpa perlu memahami hakikat fungsi dari seni itu sendiri. Perlu diketahui bahwasannya seni bukan hanya sekedar untuk hiburan, bukan sekedar hobi, atau bukan pulka sebagai madia pencapaian tertentu. Seni lahir dari abstraksi pemikiran manusia yang sulit diungkapkan secara kasar dan verbal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar